Perjalanan (tidak) Panjang Memiliki Momongan


sumber: Unknown

I.
Dulu setelah menikah saya dan suami berharap bisa segera diberi momongan. Setiap bulan saya mantengin tanggal-tanggal datangnya “tamu”, tiap lewat beberapa hari selalu jadi momen yang bikin H2C(Harap-Harap Cemas), selalu ga sabaran pengen beli Test Pack (next baca: TP). Pernah sekali waktu telat 3 hari, lalu saya minta dibeliin TP ke suami, buru-buru pagi-pagi setelah bangun tidur ngecek dan....hhhh...GARIS SATU. Kecewa iya, sedih ya lumayan.
Pernah juga dalam seminggu 2 kali ngetes saking penasarannya kok telatnya lama (siklus saya hampir ga pernah telat, paling beda-beda beberapa hari aja setiap bulannya), dan hasilnya tetap negatif. Pernah juga sekali waktu saya nangis waktu “si tamu” datang. Suami sih santai aja, beliau bilang, “ga usah dipikirin, santai aja keleess..” tapi ya namanya perempuan ya...tetep boo..dipikirin dan tiap haid datang saya selalu laporan ke suami dengan ekspresi sedih.
Perlu diketahui, dari awal menikah saya sering sakit, bukan penyakit berat sih..paling nyeri cangkeng (baca: sakit pinggang), nyeri badan, sakit perut dan yang agak parah sih (karena sampai harus bed rest), demam sampai 3 hari, sakit kepala (rasanya persis seperti thypus dulu) tapi, alhamdulillahnya semua bisa dilewati dengan istirahat dan makan teratur, sakitnya memang karena kecapekan, we thought. Maklum, saya dan suami sama-sama pekerja. Suami kerjanya office hour, eh ga office hour juga sih. Senin-Sabtu berangkat jam 9/10 pagi, pulang jam 8/9 malam. Sementara saya, waktunya lebih fleksibel karena cuma ngajar privat dan jadi shadow teacher di TK, berangkat jam 9 pagi pulang kadang ngikut jamnya suami (biasanya janjian pulang bareng), terkadang kami sampai rumah bisa jam 10/11 malam di beberapa hari dalam seminggu dan begitu terus selama beberapa bulan.
Nah, dari situ saya dan suami sepakat untuk mulai hidup lebih sehat dengan rutin berolahraga dan mengonsumsi suplemen herbal seperti madu dan habbats. Untuk olahraga sebenarnya doesn't work ya buat saya, karena kenyataannya saya ga jalanin..hehe. tapi suami yang lebih rajin walau ga rutin. Setidaknya dalam seminggu ada lah. Olahraganya murah aja sih, cuma lari pagi sebelum berangkat ke kantor. Karena kenyataannya walaupun aktifitas kita seabrek dan mengeluarkan keringat, rasanya beda dengan keringat yang dikelurkan saat berolahraga. Kalo saya lebih prefer minum air jeruk nipis dicampur madu tiap hari, karena berasa badan jadi lebih segar.

II.
Balik lagi ke keinginan buat punya momongan. Saya sempet bikin wishlist itu di kertas lalu saya tempel di schedule board. Tujuannya biar lebih ngena aja dan  menambah semangat hidup.
Lalu karena satu dan lain hal suami resign kerja, belum kebayang mau apa selanjutnya. Cuma mau rehat sejenak dari rutinitas kerja yang cukup bikin penat setiap hari. Rencana rehat ini kami sepakati untuk menghabiskannya dengan beramadhan di kampung halaman suami di Garut, niatnya supaya bisa fokus menjalani ibadah. Waktu mau berangkat, agak galau juga karena saya inginnya berangkat bareng suami naik motor sementara suami nyuruh naik bis bareng dua sahabat kami. Dasar perempuan keras kepala, saya kekeuh minta bareng suami. Akhirnya suami ngizinin, walaupun saat itu kondisi saya agak kurang sehat. Lalu berangkatlah kami ke Garut naik motor yang ‘super cepat itu’ hehe...semoga kamu menjadi saksi akan perjuangan kami selama ini ya, tor!
It’s fun, karena saya memang tipe orang yang seneng jalan, jadi ga masalah buat saya perjalanan jauh walau pa**at berasa banget ya panasnya (padahal jalannya santai, kami beberapa kali istirahat tapi kebayang dong..8 jam perjalanan naik motor, berangkat jam 10 pagi sampai Garut jam 6 sore). Selama perjalanan saya ngerasa perut sakit, pikir saya waktu itu mungkin karena mau haid (memang sekitaran tanggal biasa datang), ditambah saya mangku tas gede (tas tentara itu loh), jadi mungkin karena perutnya ketekan tas juga jadi sakit.
Singkat cerita, saya udah telat 10 hari. As usual, penasaran. Belilah TP, besok paginya ngecek...clup..! dan...Taraaaa..!!! GARIS DUA! (hasilnya secepat kilat, karena biasanya nunggu “si warna merah” itu agak lama). Alhamdulillah...langsung saya bangunin suami dan ngasih lihat si garis, suami said alhamdulillah.
Rasanya campur aduk, antara percaya dan enggak. Oh God! ada kehidupan lain di dalam perut, benar-benar ga kebayang. Rasa senang, takut, deg-degan..lengkap deh! And you know what? Kejadian itu terjadi di 5 bulan pernikahan. Yap! 5 BULAN. Sebentar ya...tapi proses menanti itu rasanya kok ya panjaaaannggg...padahal kalo dipikir lagi, baru 5 bulan. Ih, ga ada apa-apanya banget.
Saya jadi mikir, gimana rasanya mereka yang menanti selama bertahun-tahun, belasan tahun atau bahkan puluhan tahun? Berapa banyak air mata yang keluar? Berapa banyak TP yang harus dibeli? Berapa metode yan sudah mereka coba?. Sementara saya, 5 bulan aja rasanya udah macem-macem dicoba, berasa lama banget waktu yang dijalani. Saya pribadi sebagai perempuan agak beban juga saat masa penantian itu. Bebannya ada di pikiran sih, mikir “bisa hamil ga ya gue?”, “berapa lama ya kira-kira (sampai bisa hamil)?”, “bisa sabar ga ya gue nunggu?.” Padahal orang-orang di sekeliling saya ga ada yang rese’, semuanya santai, baik keluarga saya maupun keluarga suami. Ga ada yang mencecar harus segera hamil atau rusuh ngomong ini itu. Semuanya kalem, asik-asik aja.

III.
Dan ternyata intinya, ini Cuma sebagian kecil dari ujian kesabaran, kecil banget!. Setelah punya anak apa jadi selesai ujian sabarnya? Faktanya enggak cuy! Malah jadi harus lebih sabar...sabar...sabar..karena yang dihadapi bukan boneka. Ini manusia, hidup, punya hati, punya perasaan, punya keinginan. Kadang kalo  Umar lagi datang cengengnya sampai saya ga bisa ngapa-ngapain karena dia maunya nempel terus sama emaknya, hampir sepanjang hari digendong, saya suka rada gemes dan tiap nangis saya bilang,”jangan nangis, jangan cengeng nak. Ibun ga suka ah”, (intonasinya bukan kayak lagi marah-marah ya...datar aja).
Ya Allah....padahal dia adalah keniscayaan yang dulu saya harap-harapkan, yang saya perjuangkan dengan berusaha menekan ego supaya hidup lebih sehat. Beginilah manusia, ga da syukurnya. Astaghfirullah...
Pelajaran lainnya, selama penantian effort itu dilakukan bukan cuma dari satu pihak, tapi keduanya. Suami dan istri.
Kebanyakan yang dapat stigma miring kalo belum juga punya anak adalah pihak perempuan (walau ga dipungkiri laki-laki juga sama bebannya). Tapi yang paling banyak disorot dengan statement ga subur, ya perempuan padahal, belum tentu. Dua-duanya harus berbenah...dua-duanya harus mulai mencari cara, usaha dan berdoa tentu. Karena masalah kesuburan bukan Cuma problem wanita toh?! Jadi, dua-duanya harus saling menguatkan, saling support, saling mengingatkan untuk lebih santai dan ga membebani pikiran dengan mendengar omongan-omongan negatif orang lain. Selain wanita, pria juga merasakan beban yang sama, kalo kata suami laki-laki juga punya beban yang sama kalo istrinya belum juga hamil, takut dianggap ga subur, ga jantan. Padahal lagi-lagi, ini bukan perkara “tubuh” semata, ini juga perkara takdir!.
Saya sering mendapat cerita-cerita miris tentang bagaimana orang lain bisa begitu jahat menilai pasangan yang belum dikaruniai momongan. Ga jauh-jauh, sahabat saya sendiri 2 tahun menanti hadirnya seorang anak. Entah sudah berapa banyak biaya yang dikeluarkan utnuk bisa hamil. Qodarulloh...di 2 tahun pernikahan Allah tiupkan makhluk kecil di perutnya.
Sahabat saya lainya sudah 10 tahun menanti dan sampai saat ini belum juga ada tanda-tanda amanah itu datang. Semoga segera yaaa mbak, in syaa Allah.
Ah, sedihlah denger cerita mereka yang dapat kata-kata tidak menyenangkan, yang paling menyakitkan adalah dicap mandul. Innalillahi...semoga menjadi pahala ya..atas kesabaran kalian).
So, bagi pasangan menikah, sabar itu modal utama, kedua adalah santai dan yang harus selalu ada adalah doa yang mengiringi usaha. Suami saya pernah mendapat nasihat dari seorang ibu, kalo mau punya anak, banyak-banyak istighfar. So make sense, istighfar ini bukan cuma biar kita gampang punya anak tapi, dalam segala urusan yang kita kerjakan. Karena boleh jadi kesulitan, kemalangan yang kita alami akibat banyaknya dosa yang kita lakukan baik sadar atau tidak.
Perlu diingat juga, bahwa tujuan menikah bukan semata-mata agar bisa punya anak. Tapi lebih penting dari itu, menikah merupakan penyempurna agama, pelengkap ibadah. Karena di dalam pernikahan sarat akan ujian-ujian yang ga pernah terbayangkan sebelumnya. Perihal anak, itu bonus..bonus akan kesabaran plus ujian berikutnya dalam fase pernikahan.
Pelajaran lain buat saya pribadi, jaga lisan. Kalo ga bisa membantu kesulitan orang lain, minimal tidak dengan menyakiti. Lebih baik doakan, lebih baiknya lagi ditambah dengan memberi saran, atau kasih hadiah liburan supaya mereka (yang belum memiliki momongan) bisa lebih rileks dan fun lagi.
Karena kelahiran, jodoh, jalan hidup bahkan kematian cuma Allah yang tahu waktunya. Manusia tugasnya cuma berusaha, berusaha, berusaha tanpa henti dan ga boleh berputus asa.
Semoga kita bisa lebih bijak lagi menilai orang lain, kalo perlu ga perlu memberikan penilaian. Take action, bantu. Minimal dengan menyenangkan hati mereka.
Semoga yang masih menanti Allah kasih kesabaran yang tiada bertepi, karena sabar ga pernah berbatas. Yang berbatas hanya kemauan kita, mau terus bersabar atau menyerah.

Ps: selama “program” saya rutin minum air jeruk nipis karena konon jeruk nipis bisa membantu kesuburan, ditambah minum asam folat 1x1 setiap hari. Suami juga rajin olahraga tujuannya agar menghasilkan sperma yang berkualitas. Saya sendiri, sering searching makanan apa yang bisa membantu kesuburran kami dan itulah yang saya sediakan di rumah. Selain itu kami rajin minum madu dan habbats, kadang madu pahit. Dan pernah menyengaja beli madu kesuburan, untuk saya dan suami. Apapun itu, entah cara mana yang ternyata membuahkan hasil, yang jelas semua karena memang sudah TAKDIR.

(11/ads)


Comments

Popular posts from this blog

Mengenal Berbagai Jenis Tali Masker Kain

Formula Untuk Meningkatkan Produktivitas Menulis

Stres Utama Wanita adalah Suaminya, Benarkah?