Masihkah Kita Peduli?





Sumber foto: Google

Saat ini banyak kita dengar berita tentang kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya. Tidak tanggung-tanggung, anak yang masih masuk dalam kategori balita dan batita pun menjadi korban kekerasan orang tuanya.
Seperti baru-baru ini di Garut, berita tentang seorang bayi yang masih berusia 3 bulan yang meninggal karena sengaja diduduki oleh ibu kandungnya. Korban bayi laki-laki yang tengah bermain sengaja disimpan di atas bantal dalam keadaan tengkurap, kemudian diduduki tersangka hingga satu jam, sampai akhirnya korban meninggal dunia.
Kasus lainnya, di Bali seorang anak yang dikenal dengan sebutan baby J, dia dianiaya oleh ibu kandungnya sendiri. Kasus penyiksaan bayi J ini berawal dari beredarnya video di Facebook, yang diunggah akun bernama Eva Vega di Facebook.
Video pertama berdurasi 34 detik itu menampilkan bayi J menangis sambil meronta-ronta karena dicubit dan dipukul oleh Mariana yang tak lain ibu kandungnya sendiri. Pada video kedua, terlihat bayi J diseret ke kamar mandi oleh ibunya.
Selain baby J, masih ada beberapa kasus orang tua yang tega menganiaya anaknya sendiri yang mungkin saja tidak terpublikasi. Pertanyaannya adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa ada orang tua yang tega melukai anaknya sendiri?.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, kita harus melihat hal ini secara menyeluruh, banyak faktor yang bisa memengaruhi kekerasan yang terjadi pada anak-anak, misalnya saja (seperti yang dikutip dari Sitohang, 2004):
1) Stres berasal dari anak, yaitu kondisi anak yang berbeda, mental yang berbeda atau anak adalah anak angkat.
2) Stres keluarga, yaitu kemiskinan pengangguran mobilitas, isolasi, perumahan tidak memadai, anak yang tidak diharapkan dan lain sebagainya.
3) Stres yang berasal dari orang tua; rendah diri, waktu kecil mendapat perlakuan salah, depresi, harapan pada anak yang tidak realistis, kelainan karakter/gangguan jiwa.

Sementara itu, Unicef (1986) mengemukakan ada 2 faktor yang melatarbelakangi munculnya kekerasan anak oleh orang tuanya. Faktor tersebut masing-masing berasal baik dari orang tua maupun anak sendiri. 2 faktor tersebut antara lain:
a) Orang tua yang pernah jadi korban penganiayaan anak dan terpapar oleh kekerasan dalam rumah, orang tua yang kondisi kehidupannya penuh stres, seperti rumah yang sesak, kemiskinan, orang tua yang menyalahgunakan NAPZA, orang tua yang mengalami gangguan jiwa seperti depresi atau psikotik atau gangguan kepribadian.
b) Anak yang prematur, anak yang retardasi mental, anak yang cacat fisik, anak yang suka menangis hebat atau banyak tuntutan. Berdasarkan uraian tersebut baik orang tua maupun anak sama-sama berpengaruh pada timbulnya kekerasan pada anak.

Hal tersebut juga senada dengan yang disampaikan oleh Psikolog, Elly Risman “... anak-anak yang dipukul akan menjadi orang dewasa yang memukul. Setiap kali Ibu memukul anak Ibu, ingatlah bahwa anak itu akan memukul cucu Ibu dan seterusnya. Pengasuhan adalah kebiasaan yang diturunkan.”

Dari berbagai faktor penyebab di atas, kita dapat melihat bahwa kekerasan yang terjadi pada anak yang dilakukan oleh orang tua bisa saja menjadi hal yang dianggap biasa dan dapat terus terjadi seperti mata rantai. Untuk itu, yang perlu kita lakukan adalah memutus mata rantai itu.

Banyak yang beranggapan bahwa kekerasan yang terjadi pada anak apalagi jika yang melakukan kekerasan adalah orang tuanya sendiri, sebagai hal yang biasa, salah satu dari metode pendidikan yang diadopsi oleh masing-masing keluarga. Sehingga, apabila hal ini terjadi, orang-orang di lingkungan sekitar tempat anak yang mendapat kekerasan terjadi mengganggap tidak perlu campur tangan karena mengganggap mereka memasuki wilayah privasi orang lain. Sehingga, orang-orang di sekitarnya seakan tidak memiliki kepedulian terhadap anak tersebut.
Padahal sudah ada undang-undang yang mengatur tentang pengasuhan anak dan melarang kekerasan terhadap anak-anak. Seperti pada Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi:
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.

Sementara, sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan/peganiayaan) ditentukan dalam Pasal 80 UU 35/2014:
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.

Efek Mendapat Kekerasan Pada Anak
Mungkin bagi sebagian orang tua melakukan kekerasan pada anaknya sendiri adalah sebagai hal biasa, mereka tidak berpikir dampak ke depannya yang akan dialami anak-anak yang mendapatkan kekerasan.
Anak-anak yang mendapatkan kekerasan di rumahnya berpotensi menjadi anak yang kasar, bisa saja mereka menjadi pelaku bullying, atau kebalikannya anak-anak korban kekerasan bisa menjadi anak yang penakut, pendiam, tidak mudah bergaul, hilang kepercayaan diri atau bahkan justru menjadi korban bullying di sekolahnya. Hal itu akibat dari trauma yang dialaminya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh psikolog Liza Marielly Djaprie, "Mereka yang punya trauma saat kecil bisa jadi overprotektif, trauma masa kecil tersebut dapat membuat seseorang terlalu menjaga anaknya sendiri ketika ia dewasa atau bahkan ia terlalu memanjakannya. Dampak lainnya, kekerasan yang dialami saat kecil juga dapat memicu korban untuk berbuat serupa atau bahkan lebih saat seseorang dewasa.”

Sumber foto: Google

Apa yang Harus Dilakukan?
Banyak yang masih berpikir bahwa membantu korban yang mendapatkan KDRT adalah melanggar privasi seseorang, terlalu ikut campur dan atau bahasa anak sekarang kepo (red: mau tahu urusan orang lain).
Jika kita mau sedikit saja peduli, kita bisa membantu mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dari KDRT tersebut. Sebagai anggota masyarakat kita perlu lebih aware terhadap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan kita, bukan usil tetapi kita perlu memiliki empati dan kepedulian sebagai bentuk solidaritas terhadap sesama.
Lalu apa yang harus dilakukan jika kekerasan itu terjadi?
Umumnya anak-anak akan merasa takut untuk memberikan keterangan atau mengaku bahwa dirinya telah menjadi korban kekerasan dari orang tuanya. Jika hal tersebut terjadi di lingkungan keluarga baiknya kita membicarakan hal tersebut secara personal, agar baik pelaku maupun korban lebih terbuka dan nyaman untuk menceritakannya. Tetapi, jika pendekatan personal tidak berhasil kita bisa meminta bantuan orang yang paling dihormati dan disegani oleh pelaku untuk memberikan nasihat dan teguran.
Namun apabila yang menjadi korban masih bayi yang harus dilakukan adalah segera menyelamatkannya jika kita tahu bahwa bayi tersebut telah mendapatkan kekerasan dari orang terdekatnya.
Bagaimana jika dalam hal ini yang melakukan adalah tetangga? Jika kita memberikan teguran adakalanya pelaku tidak bisa menerima karena dianggap mencampuri urusan keluarganya. Saya sendiri pernah menemui orang tua yang marah ketika anaknya ditanya oleh tetangganya apakah si anak suka mendapat perlakuan dari ibunya? karena si anak bercerita bahwa dia suka dipukul ibunya dengan ikat pinggang jika dianggap telah berbuat nakal. Ketika hal itu sampai ke telinga ibu si anak, sang ibu sangat marah dan menganggap tetangganya terlalu ikut campur dalam rumah tangganya. Padahal jika sesuatu hal buruk terjadi pada si anak, pasti tetangga terdekat yang akan dimintai keterangan. Hal yang bisa kita lakukan adalah dengan melapor kepada pejabat terkait semisal RT, RW atau jika teguran dari mereka tidak juga digubris atau jika takut laporan kita justru akan membahayakan si korban kita bisa melaporkan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dengan begitu baik korban atau saksi yang tahu bahwa telah terjadi kekerasan akan merasa aman dan dapat memberikan keterangan dengan terbuka serta tidak merasa terintimidasi oleh pelaku kekerasan. Tentunya laporan yang kita berikan juga harus diperkuat oleh bukti-bukti yang sudah kita kumpulkan sebelumnya.
Saat ini untuk melakukan pelaporan bisa melalui website LPSK di /http://lpsk.go.id, ini memudahkan bagi siapa saja untuk melaporkan kejadian yang melanggar hukum terutama KDRT. Tidak hanya korban dan saksi, LPSK juga memberikan perlindungan bagi pelapor sehingga, pelapor akan merasa aman dan terjamin keselamatan karena identitasnya terjaga kerahasiaannya.
Selain korban yang harus segera diselamatkan, pelaku kekerasan juga perlu mendapat perhatian dan treatment jika pelaku mengalami gangguan kejiwaan. Hal ini penting dilakukan agar kekerasan tidak terjadi berulang dan pelaku segera mendapatkan penanganan untuk menyehatkan kembali jiwanya.

Ayo lebih peka, ayo cegah kekerasan pada anak!! Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati? Semoga apa yang terjadi dengan baby J dan anak-anak lainnya tidak terulang. Sehat orang tuanya, sehat lingkungannya, bahagianya anaknya. Sama-sama kita jaga generasi penerus bangsa.

Sumber foto: Google



Sumber bacaan:

http://news.metrotvnews.com/read/2017/07/29/736414/aniaya-anak-kandung-seorang-ibu-dibali-dibui
http://regional.liputan6.com/read/3138737/begini-kronologi-mama-muda-di-garut-duduki-bayinya-hingga-tewas
http://regional.liputan6.com/read/3138737/begini-kronologi-mama-muda-di-garut-duduki-bayinya-hingga-tewas
https://ideguru.wordpress.com/2010/04/22/faktor-faktor-yang-melatar-belakangi-kekerasan-pada-anak/
http://www.antaranews.com/berita/501600/dampak-kekerasan-terhadap-anak-saat-dewasa
https://news.detik.com/berita/d-3580914/ibu-aniaya-baby-j-diduga-karena-ayah-menelantarkan





Comments

Popular posts from this blog

Mengenal Berbagai Jenis Tali Masker Kain

Formula Untuk Meningkatkan Produktivitas Menulis

Stres Utama Wanita adalah Suaminya, Benarkah?